Rabu, 04 Juni 2008

Menggadaikan negeri kepada korporasi


Fenomena pembangunan yang eksploitatif yang sangat berpihak kepada pemodal kembali di dipertontonkan oleh SBY selaku presiden RI. Para corporat tentu akan sangat senang dengan keluarnya aturan PP No 22 tahun 2008 tentang biaya rental lahan di hutan lindung. Gambaran tenta sewa-menyewa sudah dengan jelas di ingatan, bahwa selama ini tidak ada proses rental yang pada akhir akan memberikan kontribusi positif bagi yang empunya barang.

PP No 2 tahun 2008 ini sendiri secara vulgar menyediakan diri untuk menggadaikan hutan dengan harga yang sangat murah yang di peruntukan bagi kalangan berada dan selama ini menjadi aktor kunci dalam setiap kerusakan lingkungan yang ada di negeri ini.

Persoalan utama sebenarnya bukan atas dasar seberapa besar hutan lindung itu di gadaikan, tetapi jauh dari sekedar proses penggadaian akan tetapi jika ditinjau dari beberapa peraturan sebelumnya maka akan sangat terlihat bahwa peraturan ini saling bertabrakan dan tidak punya relasi sama sekali. Kedua ketika UU No 41 tahu 99 di amandemen, ada 14 perusahaan tambang yang sekarang boleh beroperasi di hutan lindung, kenyataan ini mengambarkan akan ada banyak perusahaan lain yang akan beroperasi dihutan lindung dan sisi lainnya adalah 14 perusahaan yang sudah mendapatkan izin ini akan memperluas cakarnya di wilayah-wilayah yang menandung deposit lainnya. Ketiga keluarnya PP ini menggambarkan bahwa seolah-olah pemerintah memberikan izin kepada perusahaan tambang untuk melakukan ekspansi besar-besaran. Istilah yang paling tepat atas kenyataan ini adalah “Daripada diberikan secara Cuma-Cuma mending di bayarlah walau Cuma sedikit” dan itu menjadi tanda mata atas transaksi yang terjadi.

Keluarnya biaya rental ini bagi bengkulu sebagai propinsi dengan luasan wilayah lindung lebih dari 50 persen tentu saja akan sangat berdampak negative. Karena biaya rental ini akan mempermudah proses ekspolitasi deposit yang secara umum berada di wilyah lindung. Tercatat sekarang ini penambangan di propinsi bengkulu berada di hutan lindung baik itu yang dilegitimasi oleh pemerintah maupun penambangan yang dilakukan swadaya oleh masyarakat.

Dalam penataan ruangnya Bengkulu dari 1,9 juta luas total bengkulu 920 ribu hektar (46,54 %) diantaranya ditetapkan sebagai kawasan hutan. Terdiri dari Taman Nasional, Hutan Lindung, Cagar Alam, Hutan Wisata dan Hutan Produksi. Sisanya peruntukan pemukiman, fasilitas umum, kawasan budidaya dan pertambangan.

Berdasarkan SK.MenhutBun, No. 420 tahun 1999, kawanan hutan antaralain, taman nasional 405,3 ribu ha, hutan lindung 251,5 ribu ha Cagar Alam 6,7 ribu ha dan Hutan Produksi 218,2 ribu ha. Dari luasan tersebut sebagian besar dalam kondisi rusak. Catatan WALHI menunjukan 90% Hutan produksi tidak memilik potensi kayu, 75% Hutan Lindung rusak dan tidak dapat berfungsi sebagai penyangga kehidupan, dan 70 Cagar Alam rusak berat (non hutan). Hanya Taman Nasional yang masih relatif baik namun pada daerah-daerah yang berakses tinggi seperti di kabupaten Lebong dan Kabupaten Kaur Hutan ini pun telah compang-camping. Kenyataan sekarang ini kerusakan taman nasional kerinci seblat secara keseluruhan dengan pembangunan jalan semakin meningkat. Pembangunan jalan Muara kulam – mersip di kabupaten musi rawas menuju sarolangun, , kambang muara labuh, tapus – talang macang merupakan ancaman serius bagi keselamatan hutan TNKS. Belum ada upaya yang lebih tegas atas kenyataan yang terjadi.

Data Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Propinsi Bengkulu tahun 2004 melaporkan ada 18 perusahaan pemegang kuasa pertambangan yang masih beroprasi di propinsi, dengan total luasan lahan yang dikelola lebih kurang 23.516,45 Ha, dan dari luasan tersebut 23.117,85 diantaranya merupakan tambangan batubara.

Penambangan batubara di Bengkulu dilakukan dengan sistem terbuka (surface mining), bentuk penambangan ini merupakan bentuk yang sangat besar dampak negarifnya terhadap lingkungan, apalagi jika tempat penambangan tersebut dilakukan di daerah aliran sungai (DAS).

Tapi atas kenyataan yang ada dengan keluarnya PP No 2 tahun 2008 ini ruang tersebut menjadi terbuka dan dapat di jadikan sebagai acuan dalam menggadaikan hutan kepada pihak perusahaan. Memang peraturan ini tidak akan berdiri sendiri dalam proses implementasinya, tetapi dengan di bukanya ruang ini maka pembukaan hutan lindung sebagai areal konsesi pertambangan akan semakin terbuka. Dan pasti akan sangat merugikan sebagian besar rakyat bengkulu yang menggantungkan hidupnya atas ketersediaan air sebagai sumber utama kehidupan serta benteng terakhir bengkulu dari kehancuralan masalah akibat dari bencana ekologis.

Tidak ada komentar: