Rabu, 04 Juni 2008

Seismograph , operasionalisasi institusi dan kurikulum pendidikan siaga bencana


Dalam diskusi online yang disiarkan melalui radio ISTECS yang diikuti puluhan pendengar di seluruh dunia ini juga berlangsung sesi pertanyaan yang menarik. Jawaban-jawaban meyakinkan dan penuh dengan gagasan yang bermanfaat muncul dalam sesi ini. Sebut saja misalnya gagasan Bambang Rudiyanto yang meyakinkan pentingnya membeli tehnologi seismograph dari negera-negara maju meskipun dengan biaya mahal. Hal ini harus dilakukan sebab Indonesia baru memiliki 30 titik lokasi seismograph dan ini belum bisa mendeteksi tsunami lebih dini. Menurut Bambang biayanya memang mahal, tetapi mau tidak mau teknologi harus kita ambil dari negara yang lebih maju. Sementara M.Ridha memberikan kritik yang tajam tentang fenomena Badan Koordinasi penangulangan bencana yang kesannya mirirp sebuah kepanitiaan. Selain itu menurut aktivis Tsunami and Disaster Mitigation Center Universitas Syah Kuala ini, konsep penanggulangan bencana nampak bagus diatas kertas namun operasionalnya belum.

Menanggapi soal kurikulum pendidikan penanggulangan bencana, Heru Susetyo mengemukakan bahwa kurikulum kita harus hati-hati juga, jangan sampai konsepnya hanya sekedar informasi. Hal terpenting adalah bagaimana memasukan disaster education tersebut kepada masyarakat dengan lebih mudah. Pengalaman di Jepang menunjukkan bahwa adanya cerita-cerita rakyat tentang tsunami memberi dampak positif bagi kesiagaan warganya. Model cerita ini bermanfaat bagi anak-anak ketika menghadapi bencana, karena itu membuat cerita bencana yang mudah dimengerti oleh anak-anak merupakan langkah yang menarik untuk ditiru Indonesia. Jadi tidak sekedar memasukkan disaster education dalam kurikulum tetapi juga perlu dipikirkan berbagai cara menerapkan disaster education, termasuk melalui buku-buku cerita, komik dan melalui media televisi.

Tidak ada komentar: